Pembaca tentu
langsung mengernyitkan dahi atau bahkan langsung bertanya heran pada judul
artikel diatas, apa hubungannya? Dimana tali merah antara puasa dan budaya
tertib berlalulintas? Untuk menjawab rasa penasaran tersebut atau bahkan
mencari jawaban atas kesangsian logika dalam otak sadar kita, mari kita mulai
dengan lebih sedikit menajamkan dan mengeksplorasi apa yang ada dan sedang terjadi
di sekeliling kita.
Pembaca tentu
sudah sering melihat di televisi, membaca di
koran atau bahkan mendengar di radio bagaimana kota Jakarta begitu
pusing dengan masalah kemacetan lalulintasnya, atau begitu seringnya kita mengetahui
betapa banyak terjadi kecelakaan lalulintas yang terjadi di jalan raya dan
telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit, atau bahkan pula kita sendiri yang
malah pernah menjadi korbannya. Kita dapat menyaksikan bagaimana begitu banyak kecelakan akibat
pelanggaran dalam berlalulintas yang terjadi disekitar kita mulai pelanggaran
kecil sampai pelanggaran yang tergolong dapat membahayakan pengendara
lalulintas lainnya. Coba kita ingat, pernahkah kita melihat bagaimana
pengendara menerobos lampu merah ketika dilihatnya tidak ada petugas yang
menjaga ditempat itu? Atau malah jangan-jangan kita sendiri pernah melakukan
hal tersebut? Atau pernahkah kita dikagetkan oleh remaja yang mengendarai motor
dengan ngebut dan zig zag seenaknya tanpa perduli bahwa dia hampir mencelakai
kita? Atau pernahkah kita melihat segerombolan remaja bermotor dengan knalpot
yang memekakkan telinga berkonvoi seenaknya di jalanan? Hal ini cukup menarik apabila kita memasukkan
perilaku berlalulintas ini menjadi sebuah
gambaran atau cerminan atas budaya masyarakat kita. Ada sebuah ungkapan
menyatakan bahwa apabila ingin melihat seberapa baiknya budaya ketaatan masyarakat
terhadap hukum di suatu negara, cukuplah dengan melihat bagaimana masyarakat di
suatu negara tersebut berperilaku di jalan raya. Kalau kita setuju pada ungkapan
ini, betapa buruk gambaran budaya kita atau betapa rendahnya nilai ketaatan
kita pada hukum yang berlaku di negeri ini. Bagaimana tidak, coba kita ambil
beberapa contoh yang sering terjadi disekitar kita. Banyak remaja dengan bangga
mempreteli kelengkapan kendaraan sepeda motornya, misalnya kaca spion, lampu
sign, mengganti ukuran ban dengan ukuran tidak sesuai standar, mengganti
knalpot dengan knalpot yang bersuara memekakkan telinga, dan masih banyak yang lainnya.
Perilaku ini tentunya menjadi hal yang membahayakan
bukan sekedar kepada diri pengendara akan tetapi membahayakan pula pengendara
lainnya karena akibat ketidaklengkapan “organ” kendaraan bermotornya menjadi
penyebab kecelakaan lalulintas. Disamping itu, ketidak lengkapan kendaraan
bermotor ini jelas melanggar peraturan berkendara secara benar. Belum lagi
ditambah apabila pengendara bermotor tidak taat terhadap rambu-rambu lalulintas
sehingga semakin tinggi potensi terjadinya kecelakaan di jalan raya.
Contoh diatas merupakan
salah satu bentuk ketidaktaatan terhadap sebuah aturan yang dibuat demi
keteraturan dan ketrentaman di jalan raya. Lalu, bagaimana korelasinya dengan
konteks ibadah puasa? Untuk mendapatkan korelasinya kita bisa mencermati
perintah puasa dalam surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu BERTAKWA”. Dalam ayat tersebut Allah
memerintahkan kita untuk berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa. Sedangkan kita
tahu bahwa bentuk sebuah ketakwaan adalah mentaati segala perintah Allah dan
menjauhi segala LaranganNya. Hal ini berarti pula bahwa puasa sesungguhnya
melatih kita untuk menjadi orang yang
mampu berdisiplin mentaati segala aturan dan batasan-batasan yang telah
ditentukan oleh Allah SWT dalam kehidupan kita. Seseorang dikatakan telah
sukses menjalankan ibadah puasanya adalah seseorang yang mampu menahan diri
dari segala hal yang membatalkan puasanya meskipun tidak seorangpun
mengawasinya. Ini berarti pula seseorang yang sukses puasanya adalah seseorang
yang mampu menerapkan hasil pelatihan berdisiplin di bulan Ramadhan untuk
diterapkan dalam kehidupan kesehariannya diluar bulan ramadhan. Dalam hal berlalulintas,
ketika seseorang telah memiliki kesadaran yang tinggi untuk berdisiplin hasil
gemblengan puasa ramadhan, tentu ketika di jalan raya dan berkendara dia akan
mampu mentaati segala ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan dan juga
memiliki kualitas toleransi dan empati kepada orang lain. Pengendara yang disiplin
adalah pengendara yang selalu patuh terhadap aturan baik itu ketika ada petugas
maupun tidak ada petugas, juga mampu mengukur seberapa perilaku berkendaranya
agar tidak mengganggu serta menjadi masalah di jalan dan lingkungan sekitarnya.
Hal ini dikarenakan bahwa sejatinya puasa mengajarkan untuk selalu jujur dan
berdisiplin serta penuh empati meskipun tidak ada yang mengawasi karena hanya
dia dan Allah lah yang tahu ibadah puasanya.
Jadi Jelaslah
bagi kita bahwa korelasi atau benang merah yang menghubungkan antara Ibadah
puasa dan berdisiplin berlalulintas adalah terletak pada kesadaran untuk
mentaati perintah dan aturan yang telah ditetapkan. Dan hal ini merupakan bentuk
manifestasi dari sebuah ketaatan beribadah yang berujung pada nilai ketakwaan.
Seorang yang memiliki ketakwaan tinggi pastilah mampu pula menjadi seorang
pengendara yang berdisiplin tinggi. Dan kita bisa mengatakan bahwa negara yang
masyarakatnya memiliki ketakwaan tinggi kepada Allah pastilah memiliki budaya
berlalulintas yang tinggi pula.
Selamat berkendara dengan berdisiplin
tinggi ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar